Senin, 06 Juni 2011

Permasalahan Pendidikan

Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika, Di Indonesia sendiri dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi dunia pendidikan. Permasalahan-permasalahan yang melingkupi dunia pendidikan kita saat ini menurut Suryati Sidharto (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995), problem yang dihadapi bangsa Indonesia mencakup lima pokok problem, yaitu: Pemerataan Pendidikan, Daya Tampung Pendidikan, Relevansi Pendidikan, Kualitas/Mutu Pendidikan, dan Efisiensi & Efektifitas Pendidikan (Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan, Arif Rohman, Hal: 245)
Belajar dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti inilah proses konsep belajar. Belajar tidak mengenal batasan, akan tetapi belajar bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Dengan belajar tiap-tiap individu akan memperoleh pengetahuan, pemahaman bahkan cara bertingkah laku dari apa yang dipelajari. Usaha sadar dari masing-masing individu inilah yang merupakan konsep dari pendidikan. Pendidikan digunakan untuk menumbuh kembangkan potensi tiap-tiap individu dalam proses pembelajaran.
Sudah berjalan dengan efisien dan tepat sasarankah pendidikan di negara kita?? Banyak masalah yang menjadi penghambat proses pendidikan di negara ini. Yang tidak lain adalah masalah  pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi pendidikan. Keempat masalah inilah yang menjadi kendala-kendala dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Dari masalah ini pemerataan  pendidikan ini jelas dan nyata kalau  pendidikan di negara kita masih belum dikatakan 100% merata. Hal ini terlihat masih banyaknya sekolah-sekolah yang belum merata dan masih banyak perbedaan fasilitas yang disediakan dalam proses pembelajaran.
Mengenai mutu  pendidikan ini dapat dilihat dan diukur dari hasil belajar siswa diakhir. Namun bisa dilihat dari beberapa faktor lain yaitu faktor  afektif dan psikomotorik. Mampukah peserta didik menguasai semua materi yang telah diberikan oleh pendidik?? Ternyata masih banyak peserta didik yang belum tuntas dalam proses akhir ini. Apalagi dikaitkan dengan masalah UN ditingkat SMA. Tujuan dari ujian nasional atau UN itu sendiri adalah untuk mengukur kecerdasan siswa dalam proses pembelajaran. Akan tetapi suatu keberhasilan dalam proses pembelajaran semata-mata tidak dapat diukur dengan hasil UN yang hanya ditempuh dengan waktu yang singkat.
Masalah efisiensi pendidikan mengenai bagaimana suatu lembaga pendidikan dalam mengatur instrumental input (komponen didalam pendidikan) agar proses ini bisa berjalan sesuai tujuan. Seperti halnya bagaimana menggunakan sarana prasarana, kurikulum, dan administrasi didalam suatu lembaga pendidikan. Terakhir masalah relevansi pendidikan yang mana point inilah yang menjadi harapan bagi semua individu dan merupakan tujuan dari pendidikan itu sendiri, yaitu mengenai berhasilkah  lembaga pendidikan ini menghasilkan lulusan yang mampu menjawab kebutuhan pembangunan dan kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya penambahaan mata pelajaran yang diujikan belum bisa dikatakan sebagai keberhasilan di suatu  pembelajaran. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak siswa yang sudah dididik hanya beberapa siswa saja yang mampu dalam mengerjakan pelajaran-pelajaran yang diujikan. Semua ini dikarenakan kemampuan yang dimiliki masing-masing siswa tidaklah sama atau dengan kata lain berbeda.


1.      Masalah pemerataan pendidikan
Persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah ini timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung didalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas yang tersedia.
  • Masalah pemerataan pendidikan dipengaruhi oleh :
  1. Perbedaan tingkat sosial ekonomi masyarakat.
  2. Perbedaan fasilitas pendidikan.
  3. Sebaran sekolah tidak merata.
  4. Nilai masuk sebuah sekolah dengan standart tinggi.

  • Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan :
Cara konvensional, dengan :
  1. Membangun sekolah
  2. Menggunakan doubleshift (masuk pagi dan sore).
Cara inovatif, dengan :
  1. Sistem pamong
  2. Kejar  paket A dan B
  3. SD kecil di daerah terpencil
  4. Guru kunjung/Dosen kunjung
  5. SMP terbuka
  6. Universitas terbuka

2.      Masalah mutu pendidikan
Masalah mutu pendidikan tampaknya dari sejak kita merdeka hingga kini memasuki era millennium belum juga dapat terselesaikan dengan baik. Masalah mutu pendidikan di Indonesia memang sangat komplek dan rumit, ini tidak semudah  membalikkan kedua telapak tangan kita. Menurut penulis sendiri mutu pendidikan merupakan cerminan dari mutu sebuah bangsa. Manakala mutu pendidikannya bagus, maka bagus pula kualitas peradaban bangsa tersebut. Untuk itu seyogyanya masalah mutu pendidikan  harus menjadi perhatian serius Pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Tentu dalam pengimplementasian-nya upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi tanggungjawab  kita bersama, dan bukan hanya Pemerintah.
Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan  nilai tambah terhadap komponen  tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (1986) melihat mutu/keberhasilan pendidikan dari tiga sisi; yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan mutu sekolah, Selamet (1998) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha.
Di sisi lain Heyneman dan Loxley dalam Boediono & Abbas Ghozali (1999) menyimpulkan bahwa kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh dunia; dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut. Menurut Penulis, mutu pendidikan  merupakan tolok ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan yang bisa dirasakan oleh masyarakat  mulai dari input (masukan), proses pendidikan yang terjadi, hingga output (produk keluaran) dari sebuah proses pendidikan.
Lalu apa saja permasalahan mutu pendidikan di Indonesai?
Berbicara tentang permasalahan mutu pendidikan di Indonesia, penulis sebagai mahasiswa Filsafat dan Sosiologi Pendidikan melihatnya sebagai permasalahan yang sangat komplek, dan tidak bisa dilepaskan antara satu  poin masalah dengan poin masalah lainnya. Misalnya saja penulis berikan sample mutu  pendidikan yang berupa hasil belajar yang selama ini kita kenal dengan Hasil Ujian Nasional. Sekarang ini hasil ujian nasioanal dijadikan sebagai salah satu alat ukur dan pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Dari evaluasi hasil ujian nasional tersebut akhirnya Pemerintah mengambil suatu kebijakan untukl meningkatkan  mutu hasil belajar peserta didik. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa hasil belajar yang bermutu hanya bisa dicapai melalui proses belajar yang bermutu pula. Dan proses belajar yang bermutu membutuhkan SDM serta biaya yang relative besar.
Pemerintah pun akhirnya mengambil langkah awal mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru,dengan dalih peningkatan kesejahteraan guru/pendidik. Setelah para guru/pendidik sejahtera diharapkan  mampu memacu semangat keprofesionalan mereka dalam mengajar dan  mendidik para peserta didik. Benarkah demikian? Yang terjadi selama ini justru menyimpang dari harapan kita semua, banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Yang ingin penulis soroti di sini yaitu terkait kemerosotan hasil ujian nasioanal pada tahun 2010 seiring makin banyak guru yang telah tersertifikasi. Di sini ternyata kita temukan fakta baru, bahwa kebijakan/program sertifikasi guru tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam  hal ini mutu hasil belajar peserta didik.
Dalam hal ini bukan berarti sertifikasi guru itu tidak penting atau bahkan  tidak perlu. Kita tetap harus memberikan apresiasi positif atas upaya Pemerintah tersebut. Hanya saja menurut Penulis kebijakan sertifikasi pendidikan yang ada saat ini baru berdampak pada peningkatan kesejahteraan guru, walau banyak menimbulkan kecemburuan sosial dari golongan PNS lainnya. Program sertifikasi guru yang ada saat ini belum menampakkan dampak pada peningkatan mutu pendidikan secara umum. Ini tentu perlu menjadi perhatian dan sebagai bahan evalusi oleh Pemerintah khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dan pada akhirnya perlu kita sadari bersama bahwa upaya peningkatan mutu/kualitas pendidikan di negeri ini tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan dari seluruh komponen bangsa. Mari kita dukung segala upaya yang positif demi perbaikan mutu/kualitas pendidikan kita.
3.      Masalah efisiensi pendidikan
Sebagian besar di antara kita mungkin sudah mengetahui apa itu program akselerasi. Program akselerasi adalah program percepatan sekolah dari segi waktu. Misalnya, SD yang biasanya ditempuh selama 6 tahun di program akselerasi bisa ditempuh hanya dengan 4 tahun. Begitu juga SMP dan SMA, yang normalnya ditempuh dalam waktu 3 tahun bisa ditempuh dalam waktu 2 tahun dengan mengikuti program akselerasi.
Sekilas memang enak. Bayangkan saja, misalnya kita adalah salah satu siswa akselerasi dari SD sampai SMA, sudah pasti waktu yang kita tempuh dari yang seharusnya 12 tahun menjadi 8 tahun. Hemat 4 tahun.
Namun demikian, banyak juga opini yang berpendapat bahwa program akselerasi tidak efisien. Ya, kata mereka, program akselerasi bukanlah termasuk dalam efisiensi pendidikan. Opini tersebut berpendapat bahwa, bagaimanapun juga seseorang tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, namun juga emosional. Mereka mengatakan bahwa akselerasi membuat seseorang cenderung menjadi pribadi yang egois dan kurang matang dalam hal kedewasaan.
Benarkah? Apakah Anda berpendapat seperti itu?
Bagaimana bila saya berpendapat lain. Akselerasi, adalah satu satu efisiensi pendidikan. Salah satunya, waktu dan biaya bisa kita hemat.
Lalu bagaimana dengan kecerdasan emosional? Bukankah hal itu tidak termasuk dalam efisiensi pendidikan?
Jawabannya adalah, tingkat kedewasaan seseorang bukanlah bergantung pada umurnya. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa “setiap orang pasti menjadi tua, tapi belum tentu menjadi dewasa karena dewasa adalah pilihan”.
Ya, sehingga program akselerasi bukanlah sebuah program yang menghambat siswa-siswinya untuk menjadi dewasa. Bagaimanapun juga menjadi dewasa adalah pilihan, sama seperti pilihan untuk menjadi siswa akselerasi. Tidak ada yang memaksa dan tidak ada yang melarang. Semuanya bergantung pada diri sendiri.
Bila seseorang sudah yakin dan dengan sadar ingin menjadi siswa akselerasi, tentu bukanlah sesuatu yang salah bila ia masuk kelas akselerasi. Yang salah adalah bila ada unsur pemaksaan.
Berdasarkan sedikit uraian di atas, salahkah bila program akselerasi dikatakan sebagai program efisiensi pendidikan?
Sekali lagi, mengenai masalah kedewasaan dalam berpikir dan kematangan dalam hidup, itu adalah proses dan tidak ada hubungannya dengan akselerasi.
Masalah kepribadian anak akselerasi yang cenderung egois, itu semua juga tergantung lagi pada diri masing-masing anak. Jangan hanya men-judge sesuatu berlebihan hanya karena sample yang sangat sedikit dan sample tersebut mungkin tidak sesuai di hati.
Mengikuti program akselerasi atau tidak adalah sebuah pilihan. Sebelum memilih, tentunya segala sesuatu harus dipertimbangkan masak-masak sehingga bila sudah tercebur di dalamnya tak akan ada lagi penyesalan.
Dan akselerasi, salah satu program pendidikan yang menghemat waktu belajar, adalah salah satu program efisiensi pendidikan. Mengenai berhasil tidaknya program tersebut, hal itu tergantung pada pribadi masing-masing. Nyatanya, banyak sekali jebolan siswa akselerasi yang kini menjadi “sesuatu” yang bisa dibanggakan, tidak hanya dari segi kemampuan intelektual namun juga kemampuan emosional dan spiritual.
4.      Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau  institusi yang membutuhkan  tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan  kognitif dan  teknikal untuk melanjutkan  ke satuan pendidikan diatasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan  pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan  tidak siap untuk bekerja.
Mencakup sejauh  mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam.
Masalah pemecahan Efisiensi dan Relevansi pendidikan
1.      Menerapkan  manajemen pendidikan profesional.
2.      Telaah kurikulum.
3.      Menyiapkan  tenaga pendidik yang profesional (tersertifikasi).
4.      Menyediakan fasilitas dan sarana prasarana yang sesuai.
5.      melakukan auditing-controling-evaluating.

5.      Masalah peranan guru
TUGAS GURU
            Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional. 
Selanjutnya, pembinaan prajabatan melalui pendidikan guru ini harus mampu mendidik mahasiswa calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk menjadi manusia, person (pribadi) dan tidak hanya menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator, dan orang ini kita didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk yang berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan berbudaya, tetapi kita dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah berbudaya, artinya di sini jelas kalau yang pertama yaitu training menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya menjadi terpelajar, aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang berbudaya, sebab sesudah terpelajar tidak dengan sendirinya orang menjadi berbudaya, sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya menjadi manusia yang berbudaya. 
Memang lebih mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia terdidik atau terpelajar, akan tetapi orang yang terdidik dan terpelajar tidak dengan sendirinya berbudaya. Maka mengingat pendidikan ini sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak mempersiapkan mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka menjadi manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan mengapa guru itu harus menjadi manusia berbudaya. Oleh kanena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan; jadi pendidikan dapat berfungsi melaksanakan hakikat sebagai bagian dari kebudayaan kalau yang melaksanakannya juga berbudaya. Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1.      Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang  pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang  yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
 
2.      Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
 
3.      Pendidikan terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan dia kalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
PERAN GURU
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
 
6.      Masalah pendidikan dasar 9 tahun
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman. Berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 2/1989. Pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia 7- 12 tahun dan 12-15 tahun untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP secara merata. Tidak relevan bila di oaman modern ini masih ada anak-anak Indonesia yang tidak bersekolah dan ada pula yang masih buta huruf. Oleh karena itu pemerintah berusaha meningkatkan kualitas manusia melalui jenjang pendidikan dasar.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut di atas memerlukan kerja sama yang kooperatif antara Pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Masih banyak kendala dalam mempersiapkan WBPD 9 tahun antara lain: dana yang terbatas untuk menyelanggarakan pendidikan secara merata, kurangnya motivasi keluarga untuk wajib menyekolahkan anaknya.
            Disamping itu masih ada 1.063.000 anak usia 7-12 tahun dan 12-15 tahun yang belum bersekolah, pengaruh lingkungan sosial dan perkembangan IPTEK serta melajunya era informasi dalam menyongsong abad XXI, kurangnya tenaga pendidik yang profesional terutama daerah pedalaman. Berdasarkan alasan di atas Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan pendidikan dasar diusahakan pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Masalah inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk menelaah sejauh mana persiapan pelaksanaan WBPD 9 tahun sebagai upaya pemerataan pendidikan dasar di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan di mana pembahasan masalahnya menggunakan sumber kajian tertulis. Dari kajian kepustakaan, penulis menyimpulkan bahwa WBPD 9 tahun sebagai upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia harus dilaksanakan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Sasaran WBPD 9 tahun diharapkan dapat memberikan bekal kemampuan dasar bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia. Upaya pemerataan pendidikan melalui WBPD 9 tahun diharapkan dapat berdampak positip terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkualitas dalam menegakkan pembangunan di segala bidang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.